RI Rutin Dilanda Hujan, Perlu Modifikasi Cuaca demi Cegah Banjir?

Gelombang puncak musim hujan yang saat ini diduga sudah terjadi kapasitas memicu banjir, termasuk hadapan Jakarta. Perlukah menerapkan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) demi mencegah luapan air?
Peneliti Klimatologi cukup Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin mengmenyibak ada beberapa puncak musim hujan periode ini.
Yakni, dasarian (10 hari) kedua Desember 2022 lagi dasarian kedua Februari 2023, yang dapat mengalami perpanjangan hingga akhir Februari 2023.
Hal itu terbukti atas guyuran hujan yang rutin terjadi dua pekan terakhir tenggat hari ini. Sejumlah daerah sempat dilanda banjir.
Untuk kasus banjir antara Solo, Jawa Tengah, misalnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berangan-angan menerapkan TMC.
"Mungkin jauh didalam batas bernapas tidak sangat lama, besok mudah-mudahan sudah bisa kita gelar TMC bahwa terbukti bisa menurunkan dampak curah hujan deras," kata Kepala BNPB, Letjend TNI Suharyanto, dempet Balai Kota Solo, Sabtu (18/2).
Jakarta pun siaga banjir. Hal itu berdasarkan data kehebatan Bendung Katulampa, Bogor, Jawa Barat, yang dialiri Sungai Ciliwung yang kini berstatus siaga 3 banjir Jakarta.
Pasalnya, tinggi muka air (TMA) mencapai 110 cm demi Minggu (26/2) pukul 22.22 WIB.
"Hujan merata dekat wilayah Bogor. Puncak bagaikan hulu Ciliwung menyumbang isi air cukup banter malam ini," kata Kepala Petugas jaga Bendung Katulampa Andi Sudirman.
Perlukah dilakukan modifikasi cuaca?
Erma menyebut TMC tak setidak sombongnya diterapkan tanpa kajian lebih dahulu.
"Jangan Modifikasi Cuaca. Untuk kondisi gangguan cuaca skala sinoptik yang sangat dominan sebagaimana saat ini, mohon jangan melakukan modifikasi cuaca karena efeknya tidak bisa divalidasi secara ilmiah, bahkan bisa berujung fatal," kicaunya.
[Gambas:Twitter]
Menurutnya, Badan Meteorologi Cuaca Dunia (WMO) sendiri tidak suah merekomendasikan modifikasi cuaca tanpa dilakukan riset terlebih dulu sebelumnya.
"Mengapa? Karena cuaca itu chaotic, perubahan sesendat apapun yg kita buat dekat atmosfer bisa menimbulkan perubahan lepas dekat area lain, bersama mengacaukan sistem cuaca itu sendiri seengat bisa menambah level ekstrem," jelasnya.
Ia pun mengacu pada kajian Meteorolog Edward Norton Lorenz, pencetus teori Butterfly Effect.
"Ini mempertegas perubahan sangat lokal nan terjadi pada cuaca, efeknya bisa demikian dahsyat hadapan tempat lain karena sistem cuaca saling terkoneksi dan ada interaksi multiskala berkenan membantu secara giliran maupun ruang," urai Erma.
Teknik
Dikutip ketimbang situ BRIN, operasi TMC dengan dasarnya dilakukan menurunkan hujan lebih gesit atau prematur sebelum sampai dalam daerah yang selayaknya diguyur air.
Hal itu dilakukan bersama memicu potensi awan hujan yang ada dalam atmosfer bersama menebar garam ke ekstra dalam awan hujan, sehingga bisa turun jatuh merupakan hujan dalam daerah tertentu yang diinginkan seimbang kebutuhan dan tujuan.
"Kami tidak bisa melontarkan hujan. Kalau kami diminta melakukan operasi TMC untuk mengisi waduk pada saat musim kemarau yang paling dalam kondisi bersih bersama tidak ada potensi awan, kami tidak bisa melakukan apa-apa," ujar Koordinator Laboratorium Pengelola Teknologi Modifikasi Cuaca Badan Riset bersama Inovasi Nasional (BRIN) Budi Harsoyo.
Dalam operasi TMC, pihaknya bekerjasama atas BMKG dan TNI AU. BMKG berperan terutama ekstra dalam men-supply data dan informasi cuaca, awan dan arah angin. TNI AU menyediakan armada pesawat.
Biasanya, radar cuaca BMKG menginformasikan keberadaan awan target lagi arah kekuatan angin ke pilot. Pesawat Casa TNI AU lantas membawa muatan garam (NaCl) akan menyemai awan hujan target.
Posisi pesawat selampau berada dalam antara arah angin lagi awan hujan target. "Hujan sebisa mungkin diturunkan sebelum awan tiba dalam daerah target, sehingga intensitas hujan dalam daerah target berkurang," kata Harsoyo.
Sejak lama, para ahli mengmembuka cuaca ekstrem, yang agung memicu banjir, ini terkait dengan maalpa perubahan iklim global yang dipicu aktivitas manusia.
Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Didi Satiadi menganalogikan cuaca bagai motor yang putarannya makin segera.
"Jadi mesinnya cuaca adalah dari Matahari, pemanasan. Kalau pemanasannya ini bertambah karena gas rumah kaca tadi, maka siklus hidrologi adapun laksana rantai tadi akan berputar lebih gesit," ujar dia, dalam acara Bincang Sains bertajuk 'Waspada Cuaca Ekstrem' secara virtual, Rabu (28/12/2022).
"Karena berputar lebih gesit, artinya lebih gesit terjadi penguapan, lebih intens, lebih deras hujannya, jadi lebih basah sekaligus lebih kering," imbuhnya.